Sudah menjadi Sunnatullah pada makhluk-makhluk-Nya bahwa akan senantiasa
terjadi pertikaian antara al-haq dengan yang batil sepanjang masa dan
di manapun jua. Adalah satu ketetapan pula dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala bahwa setiap orang yang mengatakan dirinya beriman tentu tidak
lepas dari berbagai ujian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الم.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لاَ
يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ
اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam
miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu
'anhu yang bertanya kepada beliau:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ
النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟ قَالَ: اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ
فَاْلأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ
دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ
ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ
حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau
menjawab: “Para Nabi. Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang
mulia). Kemudian yang mengikuti mereka (orang-orang mulia). Seseorang
diuji sesuai dengan kadar dien (iman)-nya. Kalau imannya kokoh, maka
berat pula ujiannya. Apabila imannya lemah, dia diuji sesuai dengan
kadar imannya. Dan senantiasa ujian itu menimpa seorang hamba sampai
membiarkannya berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak lagi mempunyai
dosa.”
Salah satu di antara sebab-sebab yang paling utama
menangnya iman dan ajaran dien ini serta jelasnya hakikat berita yang
disampaikan para rasul adalah munculnya para penentang yang memusuhi
para rasul tersebut dari kalangan orang-orang yang suka mengada-adakan
kedustaan yang nyata. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan
seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari
orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk
dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)
Hal itu tidak lain karena al-haq
ini, semakin ditentang dan dilawan dengan berbagai syubhat, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala munculkan hal-hal yang dengan itu Dia tampakkan
al-haq itu adalah haq, dan yang batil adalah batil. Seperti ayat-ayat
yang terang, yang akan menampakkan dalil-dalil tentang al-haq tersebut
dan bukti-buktinya yang nyata, serta rusaknya argumentasi (baca:
syubhat) yang menghadang al-haq tersebut.
Bahkan, dengan cara
apapun ahlul batil berusaha menyembunyikan atau menutup-nutupi al-haq,
maka al-haq itu pasti semakin menjulang dan menang. Maha Benar Allah
Yang berfirman:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan
katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’.
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
(Al-Isra`: 81)
Dan firman-Nya:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya
Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
(Al-Anbiya`: 18)
Bani Israil Sepeninggal Nabi Musa 'alaihissalam
Bani
Israil adalah umat yang dahulunya hidup di bawah bimbingan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Tetapi setelah mereka hidup jauh dari
masa nubuwah bahkan dari tuntunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya, mereka diuji dengan berbagai kesulitan dan kehinaan. Itulah
janji dan ketetapan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala berlakukan atas
makhluk-makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَضَيْنَا
إِلَى بَنِي إسْرائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي اْلأَرْضِ
مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا. فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ
أُولاَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ
فَجَاسُوا خِلاَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولاً
“Dan telah
Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: ‘Sesungguhnya kamu
akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan
menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’ Maka apabila datang
saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami
datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar,
lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang
pasti terlaksana.” (Al-Isra`: 4-5)
Ahli tafsir berbeda pendapat
tentang siapa yang dikuasakan untuk menindas mereka. Namun yang jelas,
penindasan tersebut tidak lain adalah karena kezhaliman, kemaksiatan,
dan kekafiran yang mereka perbuat. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
tidaklah menzhalimi siapapun dari makhluk ciptaan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan
demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi
teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.”
(Al-An’am: 129)
Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan dalam
Tafsir-nya, menukil dari Ibnu Zaid: “Ini adalah ancaman keras bagi orang
yang zhalim. Jika dia tidak berhenti dari kezhalimannya, niscaya Allah
Subhanahu wa Ta'ala kuasakan atas dirinya orang zhalim lainnya.”
Ada
pula yang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan: “Kami serahkan
sebagian mereka (yang zhalim itu) kepada yang lain karena kekafiran yang
mereka pilih untuk diri mereka.”
Syahdan, di zaman Bani Israil,
jauh sepeninggal Nabi Musa 'alaihissalam, di saat Bani Israil semakin
jauh dari masa nubuwah dan tuntunan Nabi mereka, bergelimang kemaksiatan
dan kekafiran, Allah Subhanahu wa Ta'ala kuasakan atas diri mereka
orang-orang yang zhalim dan bengis tidak berperikemanusiaan.
Al-Imam
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, pada Kitab Az-Zuhd war Raqa`iq,
bab Qishshah Ashhabil Ukhdud (no. 3005), dari Shuhaib bin Sinan
radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya):
Pada zaman dahulu, sebelum masa kalian
ada seorang raja, dia mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang
sihir ini sudah semakin tua, dia berkata kepada raja tersebut: “Saya
sudah tua, carikan untukku seorang pemuda remaja yang akan saya ajari
sihir.” Maka raja itupun mencari seorang pemuda untuk diajari ilmu
sihir.
Adapun pemuda itu, di jalanan yang dilaluinya (menuju
tukang sihir) itu ada seorang rahib (ahli ibadah). Lalu dia duduk di
majelis rahib tersebut, mendengarkan wejangannya dan ternyata uraian
tersebut menakjubkannya. Akhirnya, jika dia mendatangi tukang sihir itu,
dia melewati majelis si rahib dan duduk di sana. Kemudian, setelah dia
menemui tukang sihir itu, dia dipukul oleh tukang sihir tersebut. Pemuda
itupun mengadukan keadaannya kepada si rahib.
Kata si rahib: “Kalau
engkau takut kepada si tukang sihir, katakan kepadanya: ‘Aku ditahan
oleh keluargaku.’ Dan jika engkau takut kepada keluargamu, katakan
kepada mereka: ‘Aku ditahan oleh tukang sihir itu’.”
Ketika dia
dalam keadaan demikian, datanglah seekor binatang besar yang menghalangi
orang banyak. Pemuda itu berkata: “Hari ini saya akan tahu, tukang
sihir itu yang lebih utama atau si rahib.” Diapun memungut sebuah batu
dan berkata: “Ya Allah, kalau ajaran si rahib itu lebih Engkau cintai
daripada ajaran tukang sihir itu, maka bunuhlah binatang ini agar
manusia bisa berlalu.” Pemuda itu melemparkan batunya hingga
membunuhnya. Akhirnya manusiapun dapat melanjutkan perjalanannya.
Kemudian
pemuda itu menemui si rahib dan menceritakan keadaannya. Si rahib
berkata kepadanya: “Wahai ananda, hari ini engkau lebih utama
daripadaku. Kedudukanmu sudah sampai pada tahap yang aku lihat saat ini.
Sesungguhnya engkau tentu akan menerima cobaan, maka apabila engkau
ditimpa satu cobaan, janganlah engkau menunjuk diriku.”
Pemuda
itupun akhirnya mampu mengobati orang yang dilahirkan dalam keadaan
buta, sopak (belang), dan mengobati orang banyak dari berbagai penyakit.
Berita ini sampai ke telinga teman duduk sang raja, yang buta matanya.
Diapun menemui pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, lalu
berkata: “Semua hadiah yang ada di sini adalah untuk engkau, saya
kumpulkan, kalau engkau dapat menyembuhkan saya (dari kebutaan ini).”
Anak
muda itu menjawab: “Sebetulnya, saya tidak dapat menyembuhkan siapapun.
Tapi yang menyembuhkan itu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau
engkau beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, saya doakan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentu Dia sembuhkan engkau.”
Teman
sang raja itupun beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu Allah
Subhanahu wa Ta'ala menyembuhkannya. Kemudian dia menemui sang raja dan
duduk bersamanya seperti biasa. Raja itu berkata kepadanya: “Siapa yang
sudah mengembalikan matamu?”
Dia menjawab: “Rabbku.” Raja itu
menukas: “Apa kamu punya tuhan selain aku?” Orang itu berkata: “Rabbku
dan Rabbmu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Raja itupun
menangkapnya dan tidak berhenti menyiksanya sampai dia menunjukkan si
pemuda. Akhirnya si pemuda ditangkap dan dibawa ke hadapan raja
tersebut. Sang raja berkata: “Wahai anakku, telah sampai kepadaku
kehebatan sihirmu yang dapat menyembuhkan buta, sopak, dan kamu berbuat
ini serta itu.”
Pemuda itu berkata: “Sesungguhnya saya tidak
dapat menyembuhkan siapapun. Tapi yang menyembuhkan itu adalah Allah
Subhanahu wa Ta'ala.”
Raja itu menangkapnya dan terus menerus
menyiksanya sampai dia menunjukkan si rahib. Akhirnya si rahib ditangkap
dan dihadapkan kepada sang raja dan dipaksa: “Keluarlah dari agamamu.”
Si rahib menolak. Raja itu minta dibawakan sebuah gergaji, lalu
diletakkan di atas kepala si rahib dan mulailah kepala itu digergaji
hingga terbelah dua. Kemudian diseret pula teman duduk raja tersebut,
dan dipaksa pula untuk kembali murtad dari keyakinannya. Tapi dia
menolak. Akhirnya kepalanya digergaji hingga terbelah dua.
Kemudian pemuda itu dihadapkan kepada raja dan diapun dipaksa: “Keluarlah kamu dari keyakinanmu.” Pemuda itu menolak.
Akhirnya
raja itu memanggil para prajuritnya: “Bawa dia ke gunung ini dan itu,
dan naiklah. Kalau kalian sudah sampai di puncak, kalau dia mau beriman
(bawa pulang). Kalau dia tidak mau, lemparkan dia dari atas.” Merekapun
membawa pemuda itu ke gunung yang ditunjuk. Si pemudapun berdoa: “Ya
Allah, lepaskan aku dari mereka dengan apa yang Engkau kehendaki.”
Seketika gunung itu bergetar dan merekapun terpelanting jatuh. Pemuda
itu datang berjalan kaki menemui sang raja. Raja itu berkata: “Apa yang
dilakukan para pengawalmu itu?”
Kata si pemuda: “Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkanku dari mereka.”
Kemudian
raja itu menyerahkan si pemuda kepada beberapa orang lalu berkata:
“Bawa dia dengan perahu ke tengah laut. Kalau dia mau keluar dari
keyakinannya, (bawa pulang), kalau tidak lemparkan dia ke laut.”
Merekapun membawanya. Si pemuda berdoa lagi: “Ya Allah, lepaskan aku
dari mereka dengan apa yang Engkau kehendaki.” Perahu itu karam dan
mereka pun tenggelam. Sedangkan si pemuda berjalan dengan tenang menemui
sang raja.
Raja itu berkata: “Apa yang dilakukan para pengawalmu itu?”
Kata si pemuda: “Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkanku dari mereka.”
Lalu
si pemuda melanjutkan: “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku
sampai engkau melakukan apa yang kuperintahkan.” Sang raja bertanya:
“Apa itu?”
Kata si pemuda: “Kau kumpulkan seluruh manusia di satu
tempat, kau salib aku di sebatang pohon dan ambil sebatang panah dari
kantung panahku kemudian letakkan pada sebuah busur lalu ucapkanlah:
‘Bismillah Rabbil ghulam’ (Dengan nama Allah, Rabb si pemuda), dan
tembaklah aku dengan panah tersebut. Kalau engkau melakukannya niscaya
engkau akan dapat membunuhku.”
Raja itupun mengumpulkan seluruh
manusia di satu tempat dan menyalib si pemuda, kemudian mengeluarkan
anak panah dari kantung si pemuda lalu meletakkannya pada sebuah busur
dan berkata: “Bismillahi Rabbil ghulam”, kemudian dia melepaskan panah
itu dan tepat mengenai pelipis si pemuda. Darah mengucur dan si pemuda
segera meletakkan tangannya di pelipis itu dan diapun tewas. Serta merta
rakyat banyak yang melihatnya segera berkata: “Kami beriman kepada Rabb
si pemuda. Kami beriman kepada Rabb si pemuda. Kami beriman kepada Rabb
si pemuda.”
Raja itupun didatangi pengikutnya dan diceritakan
kepadanya: “Apakah anda sudah melihat, apa yang anda khawatirkan, demi
Allah sudah terjadi. Orang banyak sudah beriman (kepada Allah).”
Lalu
raja itu memerintahkan agar menggali parit-parit besar dan menyalakan
api di dalamnya. Raja itu berkata: “Siapa yang tidak mau keluar dari
keyakinannya, bakarlah hidup-hidup dalam parit itu. (Atau: ceburkan ke
dalamnya).” Merekapun melakukannya, sampai akhirnya diseretlah seorang
wanita yang sedang menggendong bayinya. Wanita itu mundur (melihat api
yang bernyala-nyala), khawatir terjatuh ke dalamnya (karena sayang
kepada bayinya). Tapi bayi itu berkata kepada ibunya: “Wahai ibunda,
bersabarlah, karena sesungguhnya engkau di atas al-haq.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah ini juga dalam Kitab-Nya yang mulia dalam surat Al-Buruj:
وَالسَّمَاءِ
ذَاتِ الْبُرُوجِ. وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ. وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ.
قُتِلَ أَصْحَابُ اْلأُخْدُودِ. النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ. إِذْ هُمْ
عَلَيْهَا قُعُودٌ. وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ
شُهُودٌ. وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلاَّ أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللهِ
الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ. الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ. إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ
جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Demi langit yang mempunyai
gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang
disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit.
Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin
itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi
dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang
mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan
perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab
Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar….”
Itulah
kisah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ceritakan dalam Kitab-Nya yang
mulia agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah
mereka.
Faedah
Beberapa faedah dari kisah ini, di samping apa yang telah diuraikan sebelumnya ialah:
1.
Belajar di waktu muda lebih mudah untuk menangkap pelajaran dan
memahami. Inilah alasan tukang sihir itu memilih remaja daripada yang
sudah tua. Demikianlah yang dituntunkan para ulama kita, hingga sebagian
mereka mengatakan: “Belajar di waktu muda bagai mengukir di atas batu,
dan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air.”
2. Kemenangan
dakwah bukan hanya diukur banyaknya orang yang mengikuti da’i di saat
dia masih hidup. Boleh jadi setelah dia meninggal dunia, orang banyak
mulai menyadari kebenaran yang disampaikannya.
3. Termasuk sebuah
kemenangan adalah ketika seorang mukmin lebih memilih api yang membakar
dirinya daripada hilangnya keimanan yang ada di dalam dadanya. Inilah
yang terlihat dari seorang wanita yang lemah dengan bayinya yang masih
dalam buaian. Wanita itu merasa iba kalau anaknya ikut terbakar, tapi
Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan anak bayi itu mampu berbicara
menasihati ibunya agar tetap kokoh di atas keimanannya.
4. Sifat
Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, di saat begitu hebatnya kekejaman
orang-orang kafir terhadap orang-orang yang beriman, di mana mereka
dengan tanpa perikemanusiaan membakar hidup-hidup orang-orang yang
menyatakan dirinya beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala masih memberi
kesempatan bagi orang-orang kafir itu untuk bertaubat.
5. Ayat ini
merupakan salah satu dari sekian hiburan (tasliyah) bagi umat Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang Al-Qur`an ini turun di tengah-tengah
mereka, bahwasanya kepahitan dan penderitaan yang mereka alami bukanlah
sesuatu yang baru. Kekejaman dan penindasan terhadap kaum mukminin
sudah terjadi di masa-masa para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا
يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ
الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلاَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ
قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(Al-Baqarah: 214)
6. Di antara buah keimanan yang jujur dan kokoh
ialah jauh dari sifat tertipu dengan keadaan diri sendiri.
Perhatikanlah ucapan si pemuda remaja itu. Bukan dia yang menyembuhkan
penyakit atau kebutaan, tapi Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang
menyembuhkan dan mengembalikan kebutaan seseorang. Tidak sepantasnya
pula orang yang berilmu menisbahkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang dirasakannya kepada diri mereka sendiri. Seolah-olah semua yang
diperolehnya adalah karena kepintaran dan kecakapannya.
7. Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengabulkan doa orang yang sedang terjepit/kesulitan
jika dia berdoa kepada-Nya. Maka apabila seorang yang sedang dalam
kesulitan/terjepit memohon sesuatu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dengan penuh keyakinan, pasti Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkan
permintaannya.
8. Di samping sebagai hiburan bagi kaum mukminin, ayat
ini juga merupakan ancaman dan peringatan bagi orang-orang musyrik dan
kafir di manapun mereka berada. Allah Maha menyaksikan apa yang mereka
perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Kalau Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak membalas perbuatan mereka itu di dunia ini, maka
sesungguhnya balasan yang setimpal akan mereka dapatkan di akhirat, di
saat mereka akhirnya merasakan panasnya jahannam dan siksaan yang
membakar, sebagaimana yang dahulu mereka lakukan terhadap kaum mukminin
di dunia. Oleh sebab itu, hendaklah orang-orang yang mengaku dirinya
beriman bersabar dengan kesempitan dan kepahitan yang mereka alami di
dunia ini.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits Shuhaib radhiyallahu 'anhu:
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ
لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh
menakjubkan urusan orang-orang yang beriman itu. Sesungguhnya semua
urusannya adalah baik, dan itu tidak dirasakan siapapun kecuali orang
yang beriman. Kalau dia ditimpa kesenangan dia bersyukur, maka itu
adalah kebaikan baginya, dan apabila dia ditimpa kesusahan dia bersabar,
maka itu adalah kebaikan baginya.”
Wallahul muwaffiq.
sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=644